Who's that BEAUTIFUL girl? That's NADIA IFTARI DARWIZAR

Rabu, 15 Juni 2011


Nadia Iftari Darwizar. Seorang gadis berparas cantik yang dilahirkan dalam keluarga sakinah,mawadah,warahmah. Gadis kecil ini bersekolah di SMAN 3 Bandung. Bagian dari kelas X IPA 1 atau dikenal sebagai #AnginPasat. Sangat menyukai pecel lele dan berbagai jenis makanan lainnya kecuali DURIAN. Senang melihat orang lain bahagia dan juga senang berbagi pengalaman bersama teman-teman disekitarnya. Saat pertama kali bertemu, mungkin akan terlihat pendiam tapi ketika mengenal lebih jauh kalian akan tahu betapa kacaunya gadis tersebut. Memenangkan award ter-Rewog secara mutlak dalam AnginPasat award. Padahal dalam sehari gadis tersebut hanya makan sebanyak 2 porsi. Membaca komik adalah hobby utamanya. Menjadi dokter adalah cita-citanya. Dan tidak lupa, gadis ini lahir di tahun 1996 

Kata yang Terkunci

Kamis, 19 Mei 2011

Banyak orang merasa bahwa hidupnya jauh dari kata bahagia. Menurutku, mereka semua salah. Dibalik sebuah cerita yang kelam akan selalu ada harapan di ujung jalan yang telah dilalui. Tuhan berjanji tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya. Dan aku percaya itu.
Kubuka mata perlahan. Menghirup udara sekuat-kuatnya, memastikan masih ada jiwa dibalik raga yang lemah ini. Seberkas cahaya sudah mulai masuk ke dalam kamar. Segera aku bangun dan menoleh ke samping tempat tidur. Aku selalu berharap dia masih ada di sampingku pagi ini.
“Selamat pagi, bu Sabrina” sapa mbak Atun. Semenjak aku pindah ke rumah ini, mbak Atun memang orang yang paling sering menyapaku dan setiap kali sapaan itu terlontar yang bisa aku lakukan hanyalah tersenyum. Aku tahu, semua orang disini mengerti akan keadaanku tapi tetap saja ada rasa bersalah yang menyelimuti hati ini. Rasa bersalah karena tidak bisa menunjukan balasan kasih mereka melalui kata-kata.
Yah, aku ini seorang tuna wicara. Hal ini memang sudah takdir yang Tuhan gariskan untukku. Setiap harinya aku berusaha untuk selalu bersyukur akan karunia-Nya. Namun, ada kalanya muncul rasa lelah hingga rasanya ingin sekali berteriak melepas semua kata yang telah terkunci selama ini. Awalnya, aku ini memang tidaklah lebih dari sebuah boneka. Nama besar dari keluarga Wijaya menuntutku untuk selalu berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Berbeda, dengan kakak dan adikku yang bisa memberontak kapanpun mereka mau. Perasaan iri selalu muncul saat keluargaku sedang berkumpul dan saling bercerita mengenai hal-hal aneh yang mereka alami. Aku yang bisu ini tentu saja hanya bisa diam dan mendengarkan tanpa memberikan komentar apapun.
Dulu, ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Aku tergolong sebagai mahasiswa yang berprestasi. Sebisa mungkin aku mengikuti berbagai organisasi agar bisa bersosialisasi dengan mahasiswa lainnya. Berkat nama belakangku ini, banyak mahasiswa yang memang menunjukan rasa hormat padaku. Tapi, aku tidak bisa menjamin apakah mereka akan melakukan hal yang sama apabila aku tidak terlahir dalam nama besar keluarga Wijaya.
Paras cantik, tubuh tinggi, serta kulit yang putih memang membuat banyak orang terpesona padaku. Dari situ aku sadar bahwa Tuhan memang Maha Adil. Hanya saja hal tersebut makin membuatku susah percaya kepada orang lain. Apakah ia tulus menolongku? Itu adalah pertanyaan yang selalu muncul saat ada seseorang yang mencoba berbuat baik padaku. Naif sekali bukan.
Namun, ada satu orang yang mampu mencairkan kebekuan hati. Nama pujangga tersebut ialah Radit. Seorang aktivis mahasiswa yang pandai sekali memainkan gitar. Karena keluarga kami adalah rekan bisnis, aku dan Radit pun berteman sejak kecil. Di dunia ini, mungkin hanya dia yang mengerti apa yang aku inginkan. Dengan candaannya, dia mampu memecahkan kesunyian kala hanya ada kami berdua. Orang yang benar-benar terbuka, tak pernah pamrih, dan selalu ingin memberi itulah sosok Radit di mataku. Tanpa sadar, aku pun jatuh cinta padanya. Meski begitu, aku tak pernah berani untuk membayangkan perasaan Radit yang sebenarnya. Selama ini dia memang sangat baik, tapi tak pernah aku berpikir bahwa dia mencintaiku layaknya seorang pria. Dan yang paling menyakitkan yaitu ketika aku harus menerima fakta bahwa Radit diam-diam memendam perasaan terhadap Carla, adik kandungku. Radit tidak pernah menyatakan perasaannya langsung apalagi menceritakan hal tersebut padaku. Mereka berdua memang terlihat sangat akrab. Ketika jalan berdua, akan selalu ada sorakan dari teman-teman yang lain hingga mereka pun jadi salah tingkah. Sebagai seorang teman harusnya aku mendukung perasaan itu. Tetapi, jauh di dalam lubuk hati ada sebuah ketukan keras tanda tak ingin menerima semua itu.
“Sabrinaaaaa” teriak Radit yang terlihat sesak sambil berlari menghampiriku. Aku yang sedang berteduh di bawah pohon pun kaget mendengar teriakan tersebut. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Saat sampai dihadapanku, ia pun langsung berkata “Sab, hari ini aku sudah resmi pacaran dengan Carla”. Tanpa sadar, aku yang mendengar hal itu pun langsung menitikkan air mata. Tentu saja, Radit memasang wajah bingung sekaligus panik. Agar Radit tidak salah paham, kuambil secarik kertas juga pulpen di dalam tas. Kutulis di dalamnya “Ini tangisan kebahagiaan, Dit. Aku doain semoga kalian bisa langgeng”. Senyum lebar pun ditunjukan Radit setelah membaca kertas itu. Secara refleks, ia memelukku. Sebisa mungkin, kututupi degupan jantung yang berdetak keras akibat hangatnya pelukan tersebut. Meski terkesan sia-sia tetap saja aku merasa bersyukur telah memiliki juga mencintai Radit.
7 tahun berlalu dengan cepat. Sekarang, Radit dan Carla sudah resmi menjadi pasangan suami-istri. Rasa cintaku pada Radit masih membekas dalam hati. Namun, ada satu hal yang harus lebih aku perhatikan yaitu perjodohanku dengan Dion, anak pemilik PT. Wiguna Finance. Jujur, aku sangat terkesan padanya meski kami baru bertemu sekali. Saat itu, aku menemani Ayah datang ke pesta peresmian gedung kantor baru milik PT. Wiguna Finance. Alasan Ayah membawaku ikut bersamanya yaitu hanya untuk mendapat sorotan dari tamu-tamu undangan lainnya. Meski rekan-rekan Ayah tahu aku ini bisu, tetap saja ada yang memberikan tawaran untuk menjodohkanku dengan putranya. Hingga kini, tak ada satupun tawaran yang Ayah terima. Tapi, aku tahu suatu saat Ayah akan meneriman tawaran perjodohan tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu. Di acara itu, seperti biasa aku hanya diam dan duduk di bangku tamu yang telah disediakan. Karena terlalu sering mengalami hal ini, kadang aku lupa rasa bosan itu seperti apa. Tentu saja Ayah tidak akan ikut diam dan duduk, ia terlihat berbincang-bincang dengan para tamu. Ketika itu, aku pun melihat sosok Dion dibalik Pa Wiguna saat sedang mengobrol dengan Ayah. Wajah tampan, gagah, dan juga rupawan yang ia miliki membuat para tamu terpesona. Ia pun terlihat seperti sosok yang periang. Begitu aktif menjawab berbagai macam pertanyaan juga pujian yang dilontarkan padanya. Sejak itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Dan saat harus bertemu lagi, kini aku berhadapan bukan hanya dengan Dion tetapi sosok suamiku di masa depan. Perasaan gugup juga canggung muncul apalagi saat tatapan hangat juga ramah yang dulu ia pernah perlihatkan sama sekali tidak tampak di hadapanku sekarang. Ternyata, Dion memang tidak menerima perjodohan ini. Ia terus membujuk ayahnya untuk membatalkan pernikahan yang telah direncanakan. Tak sengaja, kudengar pembicaraan ayah dan anak itu. “Yah, aku mohon batalkan perjodohan ini” ucap Dion pada ayahnya. “Sudahlah, terima saja pernikahan ini toh Sabrina itu sangat cantik dan juga pintar” balas Pa Wiguna. Masih ingin mempertahankan argumennya, Dion langsung berkata “Tapi aku tidak mau menikahi gadis bisu seperti dia”. Seketika setelah kudengar hal tersebut, entah mengapa hati ini rasanya sakit sekali. Padahal, aku sudah sering mendengar ucapan-ucapan seperti itu. Sepertinya rasa sakit itu muncul karena aku sudah berharap bahwa Dion bisa menerimaku apa adanya.
Hari pernikahan pun tiba. Dion yang kini bersanding di sampingku masih tetap menunjukan ekspresi kesal juga marah akan perjodohan yang diatur oleh ayahnya. Para tamu yang melihat kami berdua pasti salah paham, mengira kami akan menjadi pasangan yang bahagia. “Dionnya tampan, Sabrinanya juga meski bisu tapi sangat cantik, aku iri sekali pada mereka” ucap salah satu tamu. Aku juga berharap seperti itu, tapi sepertinya itu tak akan berjalan mulus. Mengapa zaman sekarang orang-orang hanya memikirkan penampilan luar tanpa peduli apa yang sebenarnya hati kita inginkan. Seiring Dion mengucapkan janji setia untuk menjadi suami yang baik untukku muncul perasaan bersalah yang mendalam. Bukan ini seharusnya yang terjadi. Dion tak perlu menjadi suamiku bila ia memang tidak menginginkan hal tersebut. Setiap manusia memiliki pilihan dalam hidupnya. Tapi, hal itu kini sangatlah tabu bagi kami berdua.
Setelah, pernikahan itu berjalan sesuai yang direncanakan. Aku pun pindah ke rumah Dion. Status kami sebagai sepasang suami-istri kini sudah berjalan selama enam bulan. Kedatangan seorang bayi diantara kami benar-benar dinantikan oleh keluarga Dion. Tapi faktanya, Dion belum pernah menyentuhku lagi. Aku tak mungkin memaksa Dion. Tapi, kadang aku merasa lelah mendengar keluhan bu Asri, ibu Dion. “Kapan nih, mamah megang cucu” sindiran yang biasa bu Asri katakan ketika mengunjungi rumah. Maklum, Dion adalah anak tunggal. Awalnya, bu Asri juga menentang pernikahanku dengan anaknya karena menurutnya aku tak pantas menjadi istri Dion. Sebaliknya, dari pihak keluargaku terlihat tak ada respon apapun. Aku merasa seperti sudah dilupakan kecuali oleh pasangan Radit-Carla yang sering menanyakan kabarku juga Dion. Kadang Radit juga Carla datang mengunjungiku sambil membawa Adinda, gadis kecil hasil pernikahan mereka berdua. Ingin rasanya memiliki keluarga kecil yang bahagia seperti mereka. Namun, bayangan itu langsung terhapus ketika kembali mengingat perlakuan Dion padaku.
Dion tidak pernah melakukan kekerasan ataupun hal keji lainnya. Meski begitu, tatapan dingin yang selalu ia tunjukan kala mata kami bertemu benar-benar membuat dada ini sesak. Untuk menunjukan keharmonisan keluarga kami, Dion sering membawaku ke pesta-pesta yang diadakan oleh rekan bisnisnya. Ketika ia bersama teman-temannya, sosok Dion benar-benar berubah. Tatapan hangat, gelak tawa, juga keramahannya muncul seketika. Aku pun takjub sekaligus menikmati pemandangan yang tak bisa aku temukan ketika berada di rumah.
Hari-hari kulalui tanpa kesan yang berarti. Dion tetap memperlakukanku secara dingin. Pernikahan kami sudah berjalan selama satu tahun dan belum dikaruniai seorang anak. Omelan bu Asri seperti masuk ke telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. “Udahlah mah, mungkin kita memang belum takdirnya punya anak” pungkas Dion pada ibunya. “Dion sayang, mamah itu cuma kasian liat kamu. Masa sampai sekarang masih belum punya anak” ucap bu Asri. Dalam percakapan tersebut, terlihat bu Asri menyalahkanku. Aku hanya tersenyum menerima semua komentarnya. Bagaimapun, aku harus bisa mengerti perasaan bu Asri. “Sudahlah, ucapan mamah jangan terlalu dipikirkan. Kita cukup berusaha saja untuk hal lain serahkan sama Tuhan” ucapan Dion yang begitu lembut membuyarkan lamunanku. Ini pertama kalinya, Dion menunjukan langsung kehangatannya. Bahagia bukan main rasanya. Saat itu juga aku sadar, aku sudah jatuh cinta padanya.
Setiap pagi, sosok Dion memang tak pernah ada di sampingku. Namun, aku pernah mendengar bisikan Dion. Mungkin ia mengira aku masih terlelap dalam tidur. “Andai pernikahan ini bukan karena perjodohan, pasti semua akan berbeda” kalimat itu terucap dari mulut Dion. Apa maksud dari ucapannya itu? Sampai sekarang aku masih belum mengerti. Bukankah dia menolak perjodohan ini karena aku penyandang tuna wicara?. Hal tersebut makin membuatku bingung. Sampai akhirnya, aku menemukan sebuah titik terang. Saat itu, aku sedang mencari sebuah novel di dalam lemari. Tanpa sengaja, ketika sedang mencari novel tersebut diantara buku-buku tebal lainnya terlihat sebuah catatan kecil seperti diari terselip diantara buku-buku itu. Kuperhatikan buku itu dengan seksama, hingga akhirnya kuputuskan untuk membaca buku tersebut. Memang tak ada nama yang tercantum didalamnya. Tapi terdapat sebuah tanda tangan yang bisa aku jamin bahwa itu tanda tangan Dion. Kumulai membaca lembar-lembar halaman yang ia isi dengan cerita-cerita yang dialaminya. Gerakan tangan pun terhenti saat aku membaca satu halaman yang sepertinya memuat perasaannya akan pernikahan kami. Tetesan air mata pun jatuh seketika aku membaca satu kalimat yang ia torehkan di halaman itu. “…Sebenarnya, aku sangat mencintai Sabrina”. Kuhapus dengan segera air mata itu, tapi belum sempat menghapus seluruhnya Dion masuk ke dalam kamar. Rasanya kaget sampai buku yang sedang kubaca jatuh. Dion langsung mengahampiriku. Kukira ia marah karena aku sudah lancing membuka buku pribadinya. Tapi, semua dugaanku salah. Ia memelukku dengan erat. Ia berkata “Apakah kamu sudah tahu perasaanku yang sebenarnya?”. Untuk merespon ucapannya itu, kupeluk ia lebih erat. Dia terlihat tersenyum bahagia sambil meminta maaf atas perbuatannya selama ini. Ternyata, ia hanya kesal pada Ayahnya yang memperlakukan ia bak sebuah boneka dalam perjodohan ini. Dia tak pernah sekalipun kesal padaku. Ia juga meminta maaf karena sudah menjadikan kekuranganku sebagai alasan untuk menolak kedok perjodohan yang diinginkan Ayahnya.
Kini, aku benar-benar bagai seorang wanita yang sempurna. Meski, aku tak bisa mengucapkan secara langsung perasaanku padanya. Namun, makna dari sebuah kata cinta masih mampu ditunjukan tanpa harus diucapkan.